Kambuh - #TerserahPutri

Malam Sabtu, waktu itu, sebulan kurang sehari yang lalu. Seperti biasa Aku sedang rindu-rinduan dengan WNDK, itu nama orang, biar kau cari tau sendiri siapa nama aslinya.
Tiba beberapa saat, perutku sakit, hasil dari kambuhnya penyakit yang sudah lama di pelihara. Mungkin untuk manusia, peliharaan itu adalah hewan, Anjing, Kucing, dan lainnya. Tapi Aku, seorang Alien, harus memelihara penyakit, biar beda dari kalian (manusia).
"WNDK," kutulis di Whatsapp.
"Iya?"
"Penyakit kambuh,"
Sebelumnya, Aku pernah ceritakan riwayat penyakitnya ke WNDK.
"Oh, tidurin, Firm," jawabnya.
Firm itu Aku. Dia manggil Aku dengan sebutan itu. Katanya biar simpel, padahal harusnya sebut saja F jiga ingin.
"Iya," kubalas. "Gapapa ngga di temenin?"
"Gapapa,"
Akhirnya, kutidur pulsa. Maksudku, pulas.
"Selamat tidur, Firm!" katanya, dan tidak kubalas karena sudah tidur. Aku baca itu keesokan.
Besok, yang berarti hari ini, Aku bangun dengan masih sakit. Berguling-guling di tempat, menandakan sakitnya yang lumayan.
"Kenapa?" tanya Abang.
"Kambuh,"
Sebenarnya, dengan Abang, bahasanya pakai Sunda, namun disini, harus Aku artikan biar orang Flores bisa tau artinya apa. Kalau bisa, maunya pakai bahasa Spanyol, biar Fernando Torres bisa ngerti.
"Obat mana?"
"Abis,"
"Gimana atuh kerjaan,"
"Abang dulu yang urus,"
"Oke," katanya.
"Ikut sampai rumah Ibu, biar di urus, kalau disini, gaada."
"Hayu,"
Kami berangkat ke Ibu, yang ada Putri juga disana. Karena memang Aku dan Ibu tak tinggal serumah disebabkan oleh diboyongnya Ibu kesana oleh tiriku, dan diajaknya Putri bersamanya karena lebih jauh kalau dari rumahku jika berangkat sekolah. Putri hanya ada di rumahku saat akhir pekan saja. Selebihnya, dia milik Ibu.
"Kenapa ini?" tanya Ibu.
"Sakit dia kambuh," jawab Abang.
"Telat makan?"
"Engga," kujawab.
"Makan mie?"
"Iya,"
"Kamu mah ngeyel, dibilang jangan, makan lagi makan lagi,"
"Harusnya di elus, bukan di omelin,"
"Ke dokter sekarang, bareng Ibu,"
"Iya,"
Abang berangkat karena banyak kerjaan, sementara Aku, di rumah Ibu sambil melihat Putri yang baru pulang sekolah.
"Kambuh, Kak?" tanya Putri sambil melepaskan kaus kaki.
"Iya," kujawab sambil memegangi perut.
"Kakak dilarang makan Mie," katanya sambil mengikat rambut.
"Iya tau, tapi semalam, itu lapar." Aku membela diri sambil masih pegang perut.
Putri sudah tau sakitku, berikut dengan anjuran dari dokter untuk tak makan ini itu.
"Kenapa harus ada sakit, sih, Kak?"
"Harus,"
"Iya, kenapa?"
"Penyakit itu mata pencaharian seoranf Dokter,"
"Hmmm,"
"Kalau semuanya sehat, ngapain mahal-mahal kuliah kedokteran,"
"Ha ha ha!"
Dan mungkin bagiku, selain mata pencaharian Dokter, penyakit juga adalah sebuah eksistensi Tuhan, di dapat dengan persepsi tingkat tinggi dari prasangka buruk tentang berlakunya hukum bumi dan sekitarnya. Ngerti? Enggak? Ya, Syukurin!
Kami ke Dokter, tepatnya Dokter yang membuka Praktek di rumahnya. Namanya Aku lupa. Bukan Dokter Azhari, kurasa.
"Antrinya panjang ya," kata Putri.
"Iya,"
"Masih kuat?"
"Insha Allah!"
"Kak," tegur Putri seperti berbisik.
"Iya?"
"Kok yang kelihatan sakit cuma Kakak doang,"
Kulihat sekitar, dan memang, orang yang antri, terlihat lumayan sehat.
"Mungkin, mereka sakit hati,"
"Semuanya?"
"Sebagian," kujawab.
"Sebagiannya lagi, kenapa?"
"Sakiti Aku lagi," entah apa, Aku jawab seperti itu.
"Apaan, ha ha ha!" Putri ketawa.
Tak lama, namaku dipanggil seorang pelayan, atau entah perawat namanya itu. Aku gak tau.
"Bapak Firman,"
Putri senyum.
"Kenapa?" kubilang.
"Dipanggil Bapak,"
"Ha ha ha!"
Masuk, dengan Ibu yang duduk di kiri, dan Aku di kanan, sementara didepan ada Bu Dokter yang Aku yakin ada turunan Belandanya.
"Apa keluhannya?"
"Sakit ini," kutunjuk bagian yang sakit.
"Kenapa?"
"Kalau kata orang dulu, namanya Kram Usus," jawab Ibu.
"Oh iya, punggung sakit?"
"Iya," kubilang.
"Mata perih?"
"Bibir pecah-pecah," kujawab.
Ibu, Putri, dan Bu Dokter ketawa. Aku mah enggak, karena sakit.
"Berbaring disana," katanya.
Aku tiduran, dengan disambut oleh Bu Dokter yang berdiri dan menghampiri.
"Angkat bajunya!"
Dia periksa dadaku hingga perut, dengan menggunakan alat yang biasa Dokter-dokter gantungkan dileher itu, Aku lupa namanya.
Lalu, dia memijit-mijit perutku dengan saksama.
"Tarik nafas," "Buang,"
Kubuang.
"Tarik nafas," "Buang lagi," katanya.
Kubuang lagi.
"Tarik angkot," Putri menyela.
Aku, Dokter, dan Ibu ketawa.

SHARETHIS