BOSS - #TerserahPutri

"Kak, mampir kesini sebelum jalan,"

Belum lama, sekitar 2 minggu yang lalu. Pagi sekali, itu terjadi, buka mata, buka WhatsApp, kulihat pesan itu dari kontaknya Ibu. Itu Putri, yang pinjam hp Ibu untuk minta Aku datang kesana, ke rumahnya Ibu.
Belum kubalas, karena Aku sibuk membantu sendi-sendi tulangku untuk berbunyi. Dan menguap karena lihat Abang menguap.
"Iya," kubalas.
"Jam?"
Btw, ini masih di Aplikasi WhatsApp.
"Sepuluh lebih dua,"
"Lebih dua, tapi bisa jadi lima kalo dijalan ketemu macet,"
"He he he, iya,"
Aku bersiap, mulai dari mandi, makan, hingga cari-cari kunci motor yang lupa di taruh dimana. Sedikit buru-buru karena penasaran ada apa Putri suruh kesana.
Perjalanan satu jam, dari rumahku ke rumah Ibu, dan langsung bertemu Putri yang sedang memakai sepatu. Oh iya, dia sekolah siang, shift 2, Aku juga heran kenapa anak SD harus ada 3 shift sekaligus. Ketika Aku coba tanya pada Wali Kelasnya Putri:
"Kenapa harus ada jam siang dan sore?"
"Kelasnya nggak cukup, muridnya banyak,"
Lah, kok bisa, padahal 2 tingkat, padahal kalau memang benar tidak cukup ya sudah jangan menerima banyak murid.
"Ada apa, Put?" kutanya.
"Sini, duduk dulu," kata Putri sambil mengikat tali sepatu.
Aku duduk. Dia berdiri. Masuk ke dalam untuk sarapan dan hanya Ibu yang keluar, yang katanya sedang di kamar mandi dan dipanggil Putri untuk menemuiku.
"Man," tegur Ibu.
"Iya,"
"Ibu minta tolong,"
"Sebentar, Bu," kubilang.
"Apa?"
"Putri mana?"
"Kenapa emang?"
"Dia suruh Aku duduk, eh dia berdiri, terus pergi,"
"Ha ha ha!"
Dan Ibu jawab Putri sedang sarapan, darisitulah Aku tau dia sarapan dan akhirnya ditulis diatas.
"Apa?" kutanya Ibu.
"Apa?" Ibu balik nanya.
"Minta tolong,"
"Oh, ini," kata Ibu. "Temenin Putri renang, di Kenfer,"
"Kapan?"
"Sekarang,"
"Oh, iya,"
"Mau?" tanya Ibu.
"Apa yang nggak buat Putri,"
Akhirnya, itu adalah harinya, dimana Aku adalah satu-satunya pria dewasa yang mengantar. Sisanya, segerombol ibu-ibu dewasa bahkan tua.
"Katanya, Ayah Putri di Tasik?" tanya seorang Ibu-ibu.
"Ini Kakak, bukan Ayah," jawab Putri.
"Oh, nggak kerja emangnya, A?"
"Kerja, tapi santai," kubilang.
"Shift siang, ya?"
"Engga, kapan aja, Saya mah,"
Sebenarnya Aku tau, arah pembicaraan Ibu ini kemana. Tidak lain adalah ingin bilang Aku pengangguran.
Aku dan Putri berangkat, lupakan Ibu-ibu tadi, karena untuk apa, sudah ketebak jalan omongannya kemana. Menggunakan angkot yang disewa pihak sekolah khusus untuk acara renang ini. Aku duduk didekat pintu dengan Putri yang Aku pangku biar tidak jatuh.
"Kak,"
"Ya?"
"Aku nggak bisa berenang,"
"Jangan minder, susah nanti hidupnya,"
"Yang lain udah bisa,"
"Sekolah tempatnya apa?"
"Belajar,"
"Kamu, ikut renang ini untuk?"
"Belajar,"
"Waktu kamu belajar Matematika, awalnya kamu sudah bisa?"
"Belum,"
"Sekarang, apakah wajar Putri belum bisa renang karena baru mau belajar?"
"Tapi kolam renang bukan sekolah,"
Disitu, Aku diam lumayan lama.
"Kak?" tegur Putri sambil senyum.
"Kamu susah dikasih motivasi, Put,"
"Ha ha ha ha!" dia
Tiba di Kenfer, kolam renang di daerah Cimahi, entah Utara atau Selatan, pokoknya lumayan nanjak. Berbaris, mendampingi Putri yang mulai di absen Pak Dedi.
"Putri Vanessa Fillia," kata Pak Ded. "Langsung masuk yang udah dipanggil,"
Aku dan Putri masuk, langsung di suguhi penuhnya setiap kolam yang tersedia.
"Kak, penuh,"
"Iya,"
"Gimana belajarnya ini,"
"Mau Kakak usir, tapi kasian, mereka bayar,"
"Ha ha, minum aja airnya,"
"Terus mereka pulang sendiri,"
"Iya, ha ha ha!"
"Terus kamu renang di kolam yang nggak ada isinya,"
"Ha ha ha, itu mah terbang, bukan renang,"
"Iya, ha ha,"
Siswa-siswi disuruh ganti baju, tidak Aku sangka Putri sangat bersemangat, padahal tadi dijalan dia gugup. Itulah Putri, mood nya jarang ketebak seperti apa yang keluar dari mulutnya yang juga sama selalu nggak ketebak.
Terdengar Pak Dedi membunyikan peluit, sambil berteriak memanggil murid-muridnya termasuk Adikku yang kebetulan juga.
Mereka semua berenang di kolam khusus untuk anak sesuai usianya, dan Pak Dedi kulihat seperti seorang gembala yang sedang mengurus puluhan domba yang sulit diatur. Sedikit kasihan, kulihat raut wajah kewalahan di wajah Pak Dedi. Aku merasa, bahwa Aku akan sia-sia jadi satu-satunya lelaki yang ikut kalau saja Aku tidak membantu mengurus anak-anak kecil ini.
"Pak, biar kubantu," kataku.
"Eh, iya, Kakaknya Putri Vanessa, ya?"
"Iya,"
"Makasih, ya,"
Meskipun kubantu, yang kulakukan tetap sesuai dengan perintah Pak Dedi. Kupanggil gerombolan yang ada didekat Putri untuk mendekat.
"Ada apa?" tanya Putri.
"Kasihan Pak Dedi, Kakak mau bantu urus kalian,"
"Asiiik," Putri senang, kelihatannya.
Tugasku disini adalah menjaga anak-anak yang belum dipanggil Pak Dedi untuk tes, dan tentunya bukan hanya menjaga, tapi juga menghibur mereka, agar tak bosan dan bisa saja kabur entah kemana.
"Kita main apa?" tanya salah satu anak.
"Main petak umpet!" kata Putri.
"Jangan," kujawab.
"Kenapa?"
"Nanti hilang,"
"Kan petak umpet, bukan petak hilang," jawab Putri. "Berarti, ya, cuma ngumpet, Kak!"
Aku diam lagi.
"Kak?" tanya Putri sambil senyum seperti seorang yang telah mengalahkan lawan debatnya.
"Pokoknya, jangan petak umpet,"
Aku sedikit berpikir untuk apa yang harus Aku lakukan. Karena jujur hari itu Aku cukup kebingungan mengatasi anak-anak ini.
"Eh, bentar, sebelum main, Kakak pengen tau dulu nama kalian satu-satu," kubilang.
Akhirnya, Aku punya ide, agar tak ada bermain yang aneh-aneh sebelum mereka di tes Pak Dedi.
"Tapi, sambil perkenalan, Kakak pengen tau cita-cita kalian," kataku. "Bisa?"
"Bisaaaaaa!" jawabnya serentak.
Kusuruh Putri, untuk yang pertama kali perkenalan, maksudku, supaya teman-temannya tau caranya perkenalan dan ceritakan cita-cita mereka.
"Namaku, Putri Vanessa Fillia, anak bungsu, kalo makan ayam suka kepalanya. Cita-cita ingin jadi koki, tapi kata Kakak cita-cita itu harus tinggi, jadinya Aku ganti, sekarang cita-cita Aku ingin jadi Boss-nya Koki."
Aku senyum.
"Kalo kamu?" kutunjuk orang disamping Putri.
"Nama Saya, Afifatuzahra," katanya dan berhenti, nampaknya dia bingung.
"Hobi?" kupancing dengan pertanyaan.
"Makan eskrim,"
"Cita-cita?"
"Ingin jadi dokter,"
Selalu, memang, Dokter menjadi cita-cita umum anak Indonesia.
"Bagus, tapi, cita-cita harus tinggi," kubilang.
"Boss-nya Dokter, Kak!" kata Putri sambil angkat tangan.
"Ha ha ha!"
Beberapa anak sudah kutau namanya, seperti biasa, Pilot dan Dokter mendominasi cita-cita mereka. Harusnya tidak begitu.
Setelah semuanya selesai, dan waktunya pulang, Aku minta duduk di depan karena kulihat mata Putri sudah setengah sadar, kelihatannya ngantuk.
"Boleh tidur?"
"Boleh,"
"Tidur siang tetap harus berdoa ya?"
Lagi-lagi, Aku diam sejenak, karena nggak tau jawabannya.
"Kak?" tanya Putri sambil senyum jahat, lagi.

SHARETHIS