Matahari Terbit - #TerserahPutri

Dulu sekali, kurang tau pasti tanggal dan harinya, yang jelas bukan hari Jumat karena kejadiannya Hari Sabtu. Pukul dua pagi, Aku, dan Putri berangkat menuju pantai yang katanya sedang sepi karena bukan hari libur.
Berdua menyusuri jalanan gelap, dibantu binatang-binatang malam yang terbang menuju lampu utama motor dan muka si pengendara.
Kenapa sepagi ini? Karena:
"Kak, Aku pengen lihat Matahari Terbit di pantai," kata Putri.
Kalimat itu terucap di Jumat malam, dan begitu mendadaknya kami langsung berkemas pakaian dan makanan yang harus dibawa kesana.
"Kita berangkat pagi ini," kataku.
"Matahari terbit kan pagi, perjalanan ke Pangandran berapa jam?" tanya Putri.
"Sekitar 4 jam, darisini," kubilang.
"Keburu gitu kalo berangkat pagi?"
"Jam 1, itu juga pagi, Put!" kataku.
"Itu malam," tegas Putri.
"Engga gitu, aturan di bumi, lewat jam 12 sudah dianggap pagi, Put," tegasku lebih tegas.
"Oh," katanya.
Tidak lama kemudian.
"Bumi punya aturan ya?" tanya Putri setelah diam.
"Punya," kujawab. "Kakak juga nggak tau siapa yang buat,"
"Kakeknya kakek buyut kita kayaknya, Kak!"
"Mungkin,"
"Kenapa matahari harus terbenam, Kak?" Putri mengganti topik hidayat.
"Karena kalau tidak, Jerman nggak kebagian siang."
"Kalo Amerika?"
"Sama," kubilang.
"Oh,"
Ngomong-ngomong soal luar negri, sebenarnya Aku sedang rindu Jerman. Terakhir kali kesana, itu, waktu, Aku, nggg, itu, nggak pernah. Aku cuma rindu saja. Rindu pada Nabi Muhammad saja bisa, padahal belum pernah ada titik temu sebelumnya.
"Ayo, kita berangkat!"
"Nggak tidur dulu?" tanya Putri.
"Harusnya engga, kalo tidur, matahari terbit keburu pulang,"
"Oh,"
Kami berangkat, pukul satu pagi, yang akan jadi malam kalo Putri yang ngomong. Perjalanan cukup jauh dengan tanpa tidur sebelumnya. Ini konsekuensi hidup. Jika kau belum siap, harusnya mati dari sekarang.
Anggap saja sudah melewati 4 jam perjalanan, karena akan panjang jika Aku ceritakan. Eh, tapi, tadi, dijalan, sempat ada percakapan dengan Putri. Begini:
"Aku tidur gapapa?"
"Sebentar," kubilang.
Aku menepi, untuk mengikat badan Putri biar nggak jatuh dijalan. Menggunakan handuk yang kubawa, yang tujuan awalnya untuk mandi di Pangandaran.
"Boleh," kubilang.
"Apa?"
"Tidur,"
"Di ikat biar nggak jatuh?"
"Iya," kujawab.
Tiba, di Pangandaran, dengan mata yang sudah ngantuk karena belum tidur. Berbanding terbalik dengan Putri, yang segar karena baru bangun.
"Sudah sampe?" katanya.
"Udah," kubilang.
"Kita nunggu matahari dimana?"
"Sebentar, Kakak kunci leher dulu,"
"Motor?"
"Tangkal," kubilang.
Tangkal itu pohon jika diartikan ke Bahasa Indonesia.
"Oh,"
Kuajak Putri duduk di bangku yang sudah tersedia di pesisir, sambil memesan susu panas untuk Putri, dan kopi untukku.
"Nah, kita nunggu disini,"
"Jam berapa matahari datang?"
"Harusnya 15 menit lagi,"
"Oh iya, udah mulai terang ya,"
"Iya,"
Kutunggu, 15 menit hingga perut bunyi.
"Makan dulu yuk!" kubilang.
"Apa?"
"Nasi goreng!"
"Iya,"
Nasi goreng datang setelah Aku pesan, dengan beberapa hiasan, plus bonteng (timun) yang dibentuk seperti mahkota.
"Udah cerah, tapi kok matahari belum ada ya, Kak?" tanya Putri.
"Iya, aneh."
"Udah jam 6,"
"Harusnya dari setengah 6 sudah muncul kok,"
"Terus kenapa ini engga?"
"Malu, mungkin,"
"Harusnya engga," kata Putri.
Aku mulai bertanya-tanya, kenapa matahari belum muncul padahal hari sudah terang. Tiba-tiba, ada cahaya yang langsung ke mata Putri.
"Kak, ini ada cahaya,"
"Oh iya," kataku.
"Kok, darisana?" katanya.
"Eh," aku kaget.
"Ini pantai apa?" Putri serius.
"Barat," kubilang.
"Matahari terbit dari?"
Aku mulai ingat, bahwa Aku salah pantai, dan memang salah karena ini Pantai Barat.
"Terus kenapa kita di Barat, kak, ih?" Putri terlihat gereget.
"Kakak baru sadar,"
"Aaaaah," dia menghela nafas.
"Maaf,"
"Kenapa nggak terbit di barat aja sih, mataharinya?" tanya Putri.
"Jangan," kubilang.
"Lho, kenapa?"
"Nanti kiamat,"
"Kok bisa?"
"Matahari terbit di barat itu salah satu tanda-tanda kiamat, Putri!" kujelaskan. "Meskipun iya kita bisa melihat matahari disini, untuk apa, kalo akhirnya kiamat datang." lanjutku.
"Ha ha ha, iya!"
"Maaf,"
"Iya, gapapa,"

SHARETHIS