Salaman - #TerserahPutri

"Kakak, bangun!" katanya dengan menjinjing sepatu.
"Mau kemana?" kutanya.
"Antar Aku sekolah ih,"

Ya. Aku lupa, bahwa sudah dari 3 hari ini, Putri menginap di rumahku karena libur sekolah. Hari ini, Senin pagi, dengan bau kopi yang diseduh tetangga, bersama kepulan asap yang berasal dari teras rumah Pak Gatot, Aku harus bangun pagi ketika biasanya tidak seperti itu.
Aku tau, bangun pagi adalah sahabat bagi pegawai pabrik, siswa sekolah, dan ayam milik Pak Budi. Juga musuh para pengangguran, buruh shift tiga, dan Kelly kucingnya Putri. Hanya saja, dengan berat hati harus Aku relakan pagi ini bangun sepagi dingin demi antar Putri sekolah.
"Bentar, Kakak mandi dulu," kataku.
"Jangan mandi,"
"Kenapa?"
"Ini buru-buru, harus upacara,"
"Oh,"
"Cuci mata aja," kata Putri beri saran.
"Cuci muka, Put, ih!"
"Cepetan!"
Aku bergegas karena tau dan juga pernah merasakan buru-buru di hari Senin karena Upacara Bendera. Dan sekarang, jujur Aku menyesal pernah buru-buru di hari Senin, karena buat apa, hukumannya cuma jalan bebek, dan atau di panggang di terik matahari pagi.
"Cepetan!"
"Iya, bentar, cari jaket dulu,"
"Itu jaket, digantung!"
"Cari yang agak tebel, ini pagi, dingin, ditambah yang dibonceng juga darah daging sendiri, gak hangat,"
"Maksudnya?"
"SMP nanti kamu baru mengerti itu, Put,"
Putri datar, wajahnya. Sepertinya tidak mengerti apa yang Aku maksud. Sampai kutemukan jaket, dia masih diam sepuluh ribu bahasa.
"Udah sarapan?"
"Belum, kan nggak ada yang masak,"
"Harus sarapan, kita beli bubur di depan,"
Kami berangkat, menuju tukang bubur, yang tidak ingin naik haji karena Kristen. Bersama ampela yang sedari lama menjadi sobat bubur dan ayam.
"Ci, satu ya!" pintaku pada tukangnya.
"Makan disini?"
"Dimana aja, asal jangan di Malaysia, karena jauh," kubilang.
Cici tersebut mulai meracik bubur andalannya, dengan gaya yang lambat namun tak terlalu meyakinkan.
"Malaysia itu dimana?" tanya Putri.
"Negara tetangga,"
"Deket?"
"Kalo dari Globe, deket." Kubilang. "Sejengkal juga enggak," lanjutku.
Bubur pun matang dan kami pun makan, sekali-kali ku suapi Putri, perbandingannya 3:1, yang adalah 3 suapan untuk Aku, dan 1 untuk Putri. Itu adalah proporsional, tak adil, tapi pas, karena Aku punya lambung yang lebih besar dari Putri.
"Nih, ambil ati ampelanya, pegang!" kubilang.
Dia ambil, dan makan. Lalu:
"Kak, empedu itu ada di sebelah mana?"
"Hah?" Aku blank untuk itu.
"Kak?"
"Kan itu ampela, bukan empedu,"
"Ini pertanyaan baru, nggak ada urusan sama ati ampela!"
"Empedu," kataku bersiap-siap. "Itu, ada, di, sebelah, sini!" sambil menunjuk bagian perut bawah, dengan tidak yakin.
"Oh, Aku nggak yakin," jawabnya.
"Kakak juga,"
"Eh, Ha ha ha!"
Bubur habis dengan menyedihkan, dan segera berangkat karena jarum jam semakin cepat melaju menuju angka tujuh. Kasihan Putri kalau dia kesiangan, Aku takut dia nggak bisa mengatasinya.
Beberapa meter ku jalankan motor dari kios bubur ayam itu, Putri tiba-tiba menyuruhku menepi.
"Sebentar," katanya.
"Udah siang ini!" kataku.
"Gapapa, waktu masih banyak,"
Aku berhasil menepi.
"Ada apa?"
"Ada yang ketinggalan," jawabnya.
"Serius? Penting nggak? Pulang lagi nih?"
"Serius, penting, iya."
Kuputarbalikan motor menuju rumah lagi, mumpung masih belum jauh, dan masih ada waktu.
Tiba, lalu kusuruh Putri untuk cepat mengambil barang yang kelupaan. Dia sedikit berlari, dan menepuk tangannya.
"Kelly!" sahutnya. "Sini!"
Kucing datang, dan dia ambil tangan kucingnya untuk dia ajak salaman. Aku tidak tau itu namanya tangan atau kaki bagi kucing. Yang jelas, Aku membuat kerutan di dahi, hingga 5 garis sekaligus.
"Yuk!" kata Putri setelah balik lagi ke motor.
"Udah?"
"Udah, barusan,"
"Belum pamit ke Kelly?"
"Iya,"
"Cuma itu, Put?"
"Yup,"

SHARETHIS